JAKARTA, ldiiwonogiri.org – Hari Gizi Nasional menemukan momentumnya pada tahun ini. Di saat pandemic Covid-19 melanda dunia, Indonesia perlu kembali membenahi hal yang mendasar dalam berbangsa dan bernegara, yakni memajukan kesejahteraan umum.
“Tujuan bernegara dan berbangsa sangat jelas dalam Pembukaan UUD 1945 yakni memajukan kesejahteraan umum, saat ini bangsa Indonesia sedang diuji dengan wabah. Hal ini mengingatkan betapa pentingnya ketahanan keluarga, salah satunya edukasi mengenai gizi,” papar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Sebagai bukti keseriusan pemerintah dan masyarakat perihal gizi, menurut Chriswanto, pada 1984 pemerintah mencanangkan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), lalu diteguhkan kembali oleh pemerintah pada 1986. Bahkan pada 2001, ditegaskan kembali dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah pada 13 Juni 2001.
“Sayangnya, saat ini Posyandu sudah tak populer dulu lagi, padahal dulu banyak sukarelawan kesehatan Posyandu. Mereka memberikan penyuluhan kesehatan ibu dan anak, melayani vaksinasi, hingga deteksi dini kasus-kasus malagizi dan kekurangan gizi pada bayi dan balita,” ujar Chriswanto.
Ketika Posyandu tak lagi populer, menurut Chriswanto salah satu tools untuk edukasi kesehatan kepada masyarakat yang paling bawah turut hilang pula. Padahal edukasi gizi tersebut sangat penting, “Dengan edukasi gizi, masyarakat menjadi tahu makanan yang bergizi tak harus mahal. Selain protein hewani terdapat protein nabati yang relatif terjangkau,” imbuhnya. Di sini pula pentingnya interaksi antara para ibu dan penyuluh kesehatan, yang dulunya terdapat di Posyandu.
Melihat strategisnya posisi ibu dalam ketahanan gizi keluarga, menurut Chriswanto, sejak 1997 pihaknya telah rutin menggelar seminar wanita untuk pemberdayaan perempuan, “Manajemen rumah tangga dan edukasi mengenai kesehatan serta gizi selalu menjadi bahasan utama,” imbuhnya.
Sejalan dengan Hari Gizi Nasional, Chriswanto mengingatkan saat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami lompatan sejak era reformasi, kasus stunting dan malagizi masih tinggi, “Bila mengutip standar WHO, prevalensi stunting di bawah 20 persen, sementara data Kementerian Kesehatan pada 2019, kasus stunting nasional mencapai 27,67 persen,” ujarnya.
Menurutnya, kasus kekurangan gizi atau pemahaman gizi yang rendah, menjadi ujian besar saat wabah Covid-19 menyerang secara global. Dengan APBN yang semakin meningkat seharusnya standar gizi dan kesehatan masyarakat turut meningkat.
Senada dengan Chriswanto, ketua DPW LDII Sumatera Selatan, Ramang Padamulya juga mengajak untuk memanfaatkan obat-obatan herbal sebagai alternatif pengobatan. Menurutnya, Hal ini dilakukan untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang sehat jasmani dan rohani.
“Obat herbal juga membantu masyarakat saat harga-harga obat menjadi mahal. Kita dapat menanam tanaman Herbal di sekitar rumah, karena tanaman herbal diyakini bisa meningkatkan daya tahan tubuh atau imunitas,” ujarnya.
Editor : MasWed